Tak lama lagi tahapan masa kampenye dalam pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung (Pilkada) di Kabupaten Bandung yang akan diselenggarakan bulan November 2010 mendatang akan segera berlangsung. Bahkan hari-hari ini semarak suasana kampanye telah tampak. Tengoklah aneka alat kampanye seperti baligho, banner, spanduk dan pamflet telah ramai dipasang oleh masing-masing calon, seolah menjadi hiasan di setiap sudut-sudut kota , desa, bahkan di mulut gang-gang yang sempit. Isi muatan (content) dari alat-alat kampanye itu umumnya berupa dukungan, himbauan dan ajakan untuk memilih pasangan calon tertentu.
Belajar dari pengalaman kampanye dalam dua kali Pemilu 2009 yang lalu, yakni Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) pola, muatan dan sistem kampanye dari elit-elit politik daerah (lokal) tampaknya masih belum beranjak dalam mendesain kampanye. Masing-masing elit politik lokal masih mengusung janji dan isu yang bersifat filosofis, abstrak, dan berdimensi pada kebijakan nasional.
Beda Kampanye Pilpres dan Pilkada adalah konstituen politiknya (Pemilihannya) dalam jumlah yang relatif sedikit sempit wilayahnya hanya seluruh kecamatan dan desa/Kelurahan se Kabupaten/Kota dan memiliki kecenderungan emosi yang lebih dekat dengan calon dan isu-isu di daerahnya. Karena kepentingan publik daerah terhadap Pikada pun bersifat pragmatis dan sederhana, yakni terpilihnya kepala daerah yang dapat memenuhi harapan dan kesejahteraan hidup sehari-hari tersedianya fasilitas umum yang memadai, tersedianya air bersih, tidak banjir, bebas korupsi, ketentraman dan terbukanya lapangan pekerjaan.
Sedangkan dalam pilpres konstituennya bersifat nasional dan wilayahnya luas terdiri dari seluruh propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa/ kelurahan se-indonesia, memiliki kecenderungan emosi yang rendah dengan calon dan isu-isu di daerahnya, sehingga kepentingan dalam pilpres umumnya lebih bersifat idealis, istimewa, abstrak, filosofis dan berdimensi pada kebijakan nasional.
Karena perbedaan itu, maka sudah semestinya bila calon kepala Daerah yang akan bertarung dalam perebutan kursi bupati/wakil bupati di kabupaten bandung nantinya memiliki sensitifitas terhdap isu-isu local dan yang kongkrit factual dalam implementasinya di daerah. Begitu pula dalam mengusung visi-misi, program, janji dan jargon dalam kampanye pilkada Kabupaten Bandung mendatang hendaklah lebih berdimensi dengan kebijakan daerah.bukan kebijakan nasional.
Calon kepala daerah yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap isu-isu lokal berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat daerah, dipastikan akan memiliki peluang memenangi pertarungan dalam pilkada, Sebaliknya, calon kepala daerah yang bersensitifitas rendah terhadap isu lokal, maka semakin sempit peluangnya untuk dipilih dan memenangi dalam kompetisi pilkada.
Namun demikian, seorang Juru Kampanye (Jurkam) dalam pilkada tetaplah selektif, tidak boleh latah dalam mengangkat siu-isu nasional, pilihlah isu-isu yang bertautan dengan kepentingan publik di daerah. Dititik inilah persepsi politik “Think globally and act locally” (Berfikir Global /nasional, namun implementasinya melokal) menjadi relevan dalam pilkada.
Maka, sesungguhnya kampanye dalam pilkada adalah ajang untuk berkompetisi secara sehat (Fairly) antar calon dalam mengusung program-program kerja yang mudah dicerna, dipahami dan dirasakan publik daerah secara langsung. Bukan ajang untuk pandai mengobral program dan janji yang muluk-muluk idealis dan sulit dipahami publik daerah. Khususnya Publik di Kabupaten Bandung.
